Senja di sini sangat melelahkan. Matahari enggan membagi
kecantikannya. Suara burung pun hanya sesekali terdengar. Pantai kotor, penuh
sampah. Sampah dalam arti sebenarnya, maupun sampah dalam arti tidak
sebenarnya.
Di sana dengan muka muram, seorang
gadis duduk sendirian. Di atas batu tepi pantai yang nyaris hancur dikikis
lembutnya ombak laut selatan. Dialah Bunga, gadis SMA berparas cantik dengan
senyum menawan dari bibir indah nan sintal itu. Namun, senyum itu tak nampak
kala senja yang melelahkan itu tiba. Entahlah apa yang sedang ia pikirkan,
hingga ia lupa akan keindahan dirinya.
Tak lama setelah bunga duduk di batu
karang itu, terlihat siluet samar berbentuk manusia yang mendekat ke arahnya.
Nampaknya laki-laki. Tapi entahlah.
Benar saja, siluet itu adalah
bayang-bayang Hasta. Lelaki muda bertubuh kekar yang selama ini menjadi kekasih
Bunga. Dia mendekat dan duduk di samping Bunga.
“Apa
yang terjadi, sayang?” Hasta memecah keheningan senja itu.
“Hanya
sedikit masalah saja bang.” Sambil tersenyum manis ke arah kekasihnya.
“Masalah
apa? Ceritakanlah padaku!”
“Tapi
aku takut mengecewakanmu bang.”
“Bicaralah
sayang. Sungguh aku takkan merasa kau kecewakan!”
Seketika suasana hening. Hanya suara
para nelayan yang sedang mempersiapkan kapalnya yang menjadi hiburan. Semakin
gelap pantai itu. Hasta semakin cemas menunggu lantunan kata yang akan
diucapkan kekasihnya. Begitu penasaran, karena selama 2 tahun berhubungan
mereka tak pernah ada masalah yang rumit.
“Tapi
aku sungguh takut ini akan mengecewakanmu bang.”
“Jangan
seperti anak kecil sayang. Aku justru lebih kecewa jika kau tak mau mengatakan
apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Nanti
aja bang aku ceritakan. Lihatlah bang. Dihadapan kita terhampar pasir putih
berhias laut biru nan indah. Aku bermimpi aku akan menjadi setitik pasir yang
bergabung menjadi satu di pantai ini.”
“PADA
NGAPAIN INI?? UDAH MALEM MASIH DI SINI, PAKE SERAGAM SMA PULA..!!!”
Suara garang tiba-tiba merusak
suasana. Suara yang tak mereka kenali. Mereka juga tak tau apa salah mereka
hingga mereka dibentak begitu kerasnya.
Ternyata di belakang mereka telah
berdiri aparat keamanan bertubuh tegap berhias muka garang yang sangat tak
mengenakkan untuk sekedar dipandang. Hasta
akhirnya menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan. Dengan perdebatan
yang sangat sengit, petugas keamanan pun mengerti dan membebaskan mereka.
Mereka akhirnya tau mengapa sering
dilakukan patroli di tempat itu. Ya, di sekitar pantai itu ternyata sering
dijadikan tempat mangkal para lonthe
yang berburu mangsa sambil menawarkan berbagai macam kelamin yang hampir busuk,
juga buah dada mereka yang sudah tak padat dan kencang lagi. Mungkin karena
terlalu sering dijelajahi oleh para
lelaki kaya raya yang sedang pengen jajan. Tak jarang pula tempat itu dijadikan
ajang jual beli gadis-gadis perawan yang masih mengunyah bangku sekolah.
Bahkan, warung-warung sekitar pantai yang terlihat biasa di siang hari, telah
beralih fungsi sebagai tempat menikmati jajanan para hidung belang disana. Hal
yang belum diketahui oleh pasangan anak muda itu, Karena mereka tak pernah
berada di pantai hingga selarut itu.
Akhirnya mereka berdua memutuskan
untuk pulang. Seperti biasa, Hasta mengantar Bunga pulang sampai depan gerbang
rumahnya.
Selama ini Hasta memang belum berani
masuk ke rumah Bunga. Selain karena takut dengan ayah Bunga yang katanya sangat
cuek, dia juga takut akan keselamatannya karena kata orang-orang sekitar, ayah
Bunga jauh lebih galak daripada anak singa yang paling galak. Karena itu, dua
tahun mereka terpaksa backstreet.
***
Cuaca sedang tidak bersahabat dengan
mereka. Di tengah perjalanan pulang, hujan memukuli tubuh mereka tanpa ampun.
Baju mereka basah kuyup hingga memperkihatkan lekukan-lekukan tubuh yang ada
dibalik baju mereka. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan Bunga selama
perjalanan, meski Hasta masih merengek dan meminta penjelasan tentang apa yang
terjadi kepada dirinya. Hanya dekapan hangat mereka yang mengalahkan dinginnya
persetubuhan angin dengan hujan yang mengiringi mereka pulang.
Akhirnya mereka sampai di depan
pintu gerbang rumah Bunga. Dengan terburu-buru Bunga turun dari motor tua milik
Hasta.
“Terima
kasih, bang..!”
Hanya itu yang Bunga ucapkan kepada Hasta.
Belum sempat Hasta berkata sesuatu,
mulut Hasta sudah terlebih dahulu disumbat dengan bibir sintal Bunga. Kuluman
dan ciuman sangat hangat yang tak pernah Hasta rasakan sebelumnya membuat dia
sangat terkejut. Sebelumnya mereka memang tak pernah merasakan berciuman antara
mulut dengan mulut.
Kecupan mesra itu menjadi penutup
kebersamaan mereka hari ini.
***
Hasta pun pulang. Di jalan, dia
masih mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi dengan Bunga. Dia berfikir hingga
tak menyadari rumahnya telah terlewat agak jauh. Terpaksa dia memutar arah
motornya dengan sedikit rasa malu dan dengan pakaian yang masih basah.
Dia langsung masuk dalam kamarnya
tanpa permisi. Hal itu memang sudah biasa ia lakukan setelah pulang.
Hasta bergegas menuju kamar mandi
untuk menyegarkan badannya. Di kamar mandi pun dia masih terus berfikir tentang
Bunga. Tanpa terasa dia sudah satu jam di dalam kamar mandi. Dia menghiraukan
panggilan ibunya yang menyuruhnya makan malam.
Tas kerja yang ikut basah terkena
amukan hujan mulai dia bereskan. Tanpa dia ketahui, dalam tas itu teselip
sepucuk surat yang bertuliskan namanya dan nama Bunga. Entah sejak kapan surat
itu ada di dalam tasnya. Ia juga tak menyadari Bunga telah menyelipkannya. Hal
yang sedikit aneh juga menurut Hasta, mengingat Bunga tak pernah mengirim surat
sebelumnya. Mereka lebih suka main SMS daripada kirim-kiriman surat macam itu. Hal
yang aneh terjadi lagi dengan Bunga. Malam itu handphone milik Bunga tidak aktif seperti biasanya.
Hasta mengalihkan perhatiannya pada
surat yang dia pengang. Tentu dia sangat penasaran dengan isinya. Dengan penuh
nafsu dia membuka surat itu dan didapatinya beberapa kalimat.
“Buat Abang Hasta
Abangku
sayang, aku ingin mencoba menulis surat buat abang. Untuk kenangan kita kelak
bang. Untuk kita pamerkan pada anak-anak kita nantinya.
Tak
ada kata lain selain terimakasih yang bisa ku ucapkan atas apa yang abang beri
kepadaku selama ini. Aku sungguh tak bisa dan tak mau kehilanganmu bang. Mungkin
jika aku meneteskan air mataku di laut, dan aku bisa menemukannya lagi, baru
aku mau kehilangan kamu.
Apa abang
masih ingat? Ingatkah bang, ketika kita menuliskan beberapa kata di pohon tua
di taman kota? Kita menulis janji sehidup semati, dan kita juga telah janji
untuk selalu bersama.
Maaf
bang, tak ada kata yang bisa kuungkapkan lagi. Sepertinya otakku telah penuh
dengan kenangan kita hingga aku tak bisa memikirkan apapun selain tentang kita.
“Selamanya
aku milikmu”
Yang menyayangimu
Bunga”
Setelah membaca surat itu, Hasta sangat merasakan suasana
kedamaian. Dia tertidur sangat lelap. Mungkin dia sedang bertemu dengan
bidadarinya itu. Terlihat dari mimik parasnya yang sesekali tersenyum tanpa
sadar.
***
Azan subuh berkumandang. Membangunkan tidur Hasta yang
terlalu nyenyak.
Begitu terkejutnya dia karena setelah Azan selesai, ada
berita lelayu.
“Innalilahi
wa innailaihi roji’un
Telah
meninggal dunia dengan tenang, Bunga Setya Ramadhani binti Tukiman…”
Itu nama kekasihnya. Kekasih
yang telah berjanji akan menceritakan sesuatu yang membuatnya begitu berbeda di
senja yang melelahkan itu. Betapa hancur perasaan Hasta mendengar semuanya. Tanpa
disadari, air asin itu mulai memenuhi kelopaknya. Perlahan terjun menjadikan
pipinya sebagai sungai baru. Benar, dia menangis. Meski terilhat macho, Hasta
tetaplah manusia biasa yang mendadak tersenyum dengan adanya kebahagiaan.
Menangis pun menjadi hal yang wajar setelah dia mendengar berita yang menyayat
hatinya yang belum sembuh dari luka. Apalagi sayatan baru itu tepat berada di
luka lamanya. Dia sangat terpukul mendengar semua itu. Dia bahkan belum sempat
membahagiakan Bunga. Dia pun memberanikan diri pergi kerumah Bunga dengan
diiringi tangisan kecil namun sangat menyakitkan.
Hasta tersadar, ternyata segalanya yang ia lakukan
dengannya kemarin adalah yang terakhir. Bunga ingin member isyarat padanya atau
mungkin ingin meninggalkan kenangan. Dia tak perduli dengan itu. Bahkan dia
lupa dengan jawaban atas pertanyaan senja kemarin. Yang dia tau, surat kecil
itu adalah surat pertama dan terakhir Bunga untuknya.
Dian
Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar