Kau itu bunga yang sangat rupawan. Kau indah. Namun
satu yang tak kulupa darimu. Kau tetap kotor. Dahulu kupikir, aku akan bisa
menumbuhkan duri di dawai-dawai tangkai rapuhmu. Itu menjadi misi besarku
ketika aku lebih dekat denganmu.
Aku
masih ingat betul awal kita bertemu disebuah tempat tertutup. Aku melihatmu
polos. Tentu tanpa duri yang melindungi tangkaimu. Mungkin itu sebabnya kau
mudah dijamah. Kau mudah disentuh oleh tangan-tangan kotor yang merasa tak
berdosa. Kau pun dipermainkan dengan sesuka hati mereka. Hingga kau kehilangan
kelaminmu. Kau menjadi kotor. Kau begitu kotor. Mungkin juga kau malah merasa
bahwa dirimu tak layak dipungut oleh abang tukang sampah. Kukira kau lebih
memilih hengkang dari kehidupan duniawi ini.
Bukan
karena aku kasihan padamu. Namun harus kuakui jika aku memang mengagumimu sejak
kita bertemu waktu itu. Disebuah tempat tertutup. Kau milik temanku waktu itu.
Kau tergenggam erat di tangan salah satu orang yang dekat denganku, bunga. Kau
begitu pasrah tanpa duri yang melindungi. Kau begitu menikmati ketika dia
menyentuhmu. Kau selalu terbawa suasana ketika dia mulai meraba bagian indahmu.
Namun, justru itu yang membuatmu semakin kotor. Dan begitu pengecutnya aku
karena aku hanya bisa melihat kau terkotori.
***
“Hei
bunga, aku terpesona denganmu!”
Bunga itu tersipu malu ketika
mendapatiku mengatakan itu. Sepertinya dia juga terkejut. Ya, dia memang baru
saja dibuang oleh pemilik lamanya. Tentu saja setelah pemilik lamanya itu
bermain dengannya. Menyentuhnya, merabanya, dan seterusnya. Mau bagaimana lagi?
Bukankah dia memang tak memiliki duri yang melindunginya?
“Bicara apa kau?” semburat merah
mewarnai kelopak putihnya nan indah, namun kotor.
“Aku bicara atas nama hati, bunga!
Bisakah kau kumiliki? Akan kujanjikan duri dalam batangmu jika kau mau. Lalu
akan kusapu sedikit demi sedikit noda yang menempel di kelopak putih indahmu
itu!”
Kelopaknya semakin aneh ketika aku
mengatakan itu. Tersirat warna putih kotor yang bercampur dengan warna merah
reaksi dari apa yang didengarnya dari mulut kecilku yang ternyata juga cukup
kotor.
“Tapi aku seperti ini. Apa kau masih
mau denganku?”
“Ketulusan seharusnya mengalahkan
segalanya kan?”
“Tapi sungguh, aku sangat tak layak
untukmu!”
“Bagaimana jika kita jalani dulu? Kau
akan selalu kubawa kamanapun. Kugenggam lembut tangkaimu sembari menunggu
benang-benang sel yang tak lama lagi akan berubah menjadi duri!”
“Baiklah, jika itu maumu. Namun
jangan cintai aku lebih dari kau memandangku! Aku yakin kekecewaan akan
menghampirimu jika itu kau lakukan!”
Seketika aku menganggap aku memiliki
bunga. Ya, bunga yang aku inginkan sejak dulu. Bunga yang waktu itu sempat
menjadi milik temanku. Atau bisa kubilang pagar karatan yang menghalangi
ambisiku.
Tak ada rasa sesal ketika aku
mendapatkan bunga itu dalam keadaan kotor. Kelopaknya cacat. Bahkan sudah tak
ada lagi putik kecil yang menghiasi tengah kelopaknya. Dia layu dan hampir
patah. Kukira karena terkoyak dengan tangan-tangan penuh nafsu dari pemilik
sebelumnya.
Awalnya aku sempat tergoda dengan
sisa-sisa kotormu. Namun waktu mulai belajar merangkak. Dia mulai bisa berdiri.
Perlahan tapi pasti dia melangkah. Semakin cepat hingga akhirnya waktu pun
berlari dengan begitu cepat.
Aku mengecupmu. Mulai menikmatimu.
Dan semakin berani saja tangan ini berjelajah. Kau hanya diam. Kau begitu
menikmati. Kau sungguh tak merasa terkotori. Hingga aku tertunduk lemas.
Merenung. Melihat masa lalu. Ketika aku berkata bahwa aku akan merawatnya.
Merawat bunga itu.
“Kau akan terlihat indah jika kau mau
menutupi keindahanmu itu, Bungaku!”
Cukup lembut aku berkata padanya.
Senyum kecil tak sengaja muncul di bibir yang pernah menjanjikan kecantikan
itu.
“Aku masih canggung. Aku sungguh tak
pernah bisa terbiasa menutupi. Bukankah keindahan itu anugrah? Lalu apa gunanya
keindahanku jika orang lain tak pernah bisa menikmatinya?”
Ternyata bunga yang satu ini memang
agak keras kepala.
“Tutup tak selalu membuatmu semakin
buruk kan? Aku ingin mencoba mulai menatamu. Agar kelak kau jadi seperti apa
yang kuambisikan ketika itu.”
“baiklah jika itu maumu. Besok
aku akan mulai memakainya! Kuharap aku bisa setidaknya untuk memakai ketika aku
menemuimu.”
Waktu mulai beranjak dewasa. Dia
semakin cepat berlari. Menghilangkan sekon, menghapus menit, melangkahi jam.
Perlahan mulai menjamah hari. Hari pun seakan lenyap dan berubah menjadi
minggu. Minggu mulai bermetamorfosis dengan nama bulan.
Dalam pengembaraan waktu, dia
mulai terlihat segar. Bunga itu semakin bersih. Dia sanggup berdiri tegak
dengan tangkainya yang semakin kuat. Meski tertutupi, aku tau jika kelopaknya
menjadi jauh lebih indah. Tentu tanpa putik kecilnya yang telah hilang oleh
tangan penuh nafsu milik pemiliknya yang lama.
Banyak yang mulai kuketahui
darinya. Mungkin bisa dismpulkan bahwa semua itu yang membuatnya kotor.
Dia pernah berkata “aku ini
hidup sendiri, bahkan harus menghidupi adik-adik kecilku. Orang yang
menjadikanku ada disini telah lama berpisah dan merantau!”
Ternyata dia bunga yang mandiri
sejak lama. Dia tak cukup peduli dengan siapa yang membuatnya subur di tanah
negeri ini. Yang dia peduli adalah tetesan air berhumus yang selalu dikkirimkan
ke alamatnya.
Dia juga pernah bercerita
tentang siapa yang pernah memiliki dan tentu saja menyentuh-nyentuhnya. Hampir
semua memperlakukan bungaku dengan sama. Dengan tangan-tangan kotornya. Sangat
sial bagi bungaku karena tangan kotor itu masih juga dikotori dengan nafsu. Itu
membuatnya menjadi terbiasa. Terbiasa disentuh dan dipermainkan.
Ketika bersamaku, dia mulai
berbeda. Tumbuh semakin cantik dan yang paling aku suka adalah ketika duri-duri
pelindung di tangkainya sudah mulai tumbuh tajam dan begitu sensitif.
Sangat disayangkan senja datang
begitu cepat. Hanya dalam hitungan bulan, aku dengan ikhlas mengantarnya
pulang. Sebelum malam yang semakin gelap dan kelam menghiasi dunia indahku ini.
Juga dunia indah milik bunga indahku.
Tentu tak tanpa alasan aku
melepasnya. Aku mengenyahkan dia karena bunga itu kuketahui tetap menjadi bunga
yang kotor. Bahkan sangat kotor. Bagaimana tidak? Ketika dia menjadi peganganku
dimanapun aku pergi, ketika dia telah menjadi begitu sempurna di hadapanku, dia
juga menjadi bunga milik orang lain. Bahkan tak hanya satu. Banyak orang yang
ternyata juga memilikinya. Duri-duri yang tertempel di batang hijaunya ternyata
hanya fatamorgana dan hanya aku yang bisa melihatnya. Hingga aku melepasnya.
Tak ada sesal yang tertinggal.
Justru aku sangat bersyukur ketika dia tetap menjadi bunga yang kotor dan sudah
tak bisa diubah lagi. Setidaknya sebelum acara resmi. Juga sebelum aku meniduri
di ruang pribadi, aku mengetahui bahwa dia adalah bunga yang kotor. Dia tetap
kotor, dan mungkin akan selalu menjadi bunga kotor, dengan dunianya yang juga
tak jauh dari kotor.
"Dian Ramadhan"
"Dian Ramadhan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar