Selasa, 10 September 2013

Bunga Itu Tetap Kotor



Kau itu bunga yang sangat rupawan. Kau indah. Namun satu yang tak kulupa darimu. Kau tetap kotor. Dahulu kupikir, aku akan bisa menumbuhkan duri di dawai-dawai tangkai rapuhmu. Itu menjadi misi besarku ketika aku lebih dekat denganmu.
            Aku masih ingat betul awal kita bertemu disebuah tempat tertutup. Aku melihatmu polos. Tentu tanpa duri yang melindungi tangkaimu. Mungkin itu sebabnya kau mudah dijamah. Kau mudah disentuh oleh tangan-tangan kotor yang merasa tak berdosa. Kau pun dipermainkan dengan sesuka hati mereka. Hingga kau kehilangan kelaminmu. Kau menjadi kotor. Kau begitu kotor. Mungkin juga kau malah merasa bahwa dirimu tak layak dipungut oleh abang tukang sampah. Kukira kau lebih memilih hengkang dari kehidupan duniawi ini.
            Bukan karena aku kasihan padamu. Namun harus kuakui jika aku memang mengagumimu sejak kita bertemu waktu itu. Disebuah tempat tertutup. Kau milik temanku waktu itu. Kau tergenggam erat di tangan salah satu orang yang dekat denganku, bunga. Kau begitu pasrah tanpa duri yang melindungi. Kau begitu menikmati ketika dia menyentuhmu. Kau selalu terbawa suasana ketika dia mulai meraba bagian indahmu. Namun, justru itu yang membuatmu semakin kotor. Dan begitu pengecutnya aku karena aku hanya bisa melihat kau terkotori.
***
            “Hei bunga, aku terpesona denganmu!”
Bunga itu tersipu malu ketika mendapatiku mengatakan itu. Sepertinya dia juga terkejut. Ya, dia memang baru saja dibuang oleh pemilik lamanya. Tentu saja setelah pemilik lamanya itu bermain dengannya. Menyentuhnya, merabanya, dan seterusnya. Mau bagaimana lagi? Bukankah dia memang tak memiliki duri yang melindunginya?
“Bicara apa kau?” semburat merah mewarnai kelopak putihnya nan indah, namun kotor.
“Aku bicara atas nama hati, bunga! Bisakah kau kumiliki? Akan kujanjikan duri dalam batangmu jika kau mau. Lalu akan kusapu sedikit demi sedikit noda yang menempel di kelopak putih indahmu itu!”
Kelopaknya semakin aneh ketika aku mengatakan itu. Tersirat warna putih kotor yang bercampur dengan warna merah reaksi dari apa yang didengarnya dari mulut kecilku yang ternyata juga cukup kotor.
“Tapi aku seperti ini. Apa kau masih mau denganku?”
“Ketulusan seharusnya mengalahkan segalanya kan?”
“Tapi sungguh, aku sangat tak layak untukmu!”
“Bagaimana jika kita jalani dulu? Kau akan selalu kubawa kamanapun. Kugenggam lembut tangkaimu sembari menunggu benang-benang sel yang tak lama lagi akan berubah menjadi duri!”
“Baiklah, jika itu maumu. Namun jangan cintai aku lebih dari kau memandangku! Aku yakin kekecewaan akan menghampirimu jika itu kau lakukan!”
Seketika aku menganggap aku memiliki bunga. Ya, bunga yang aku inginkan sejak dulu. Bunga yang waktu itu sempat menjadi milik temanku. Atau bisa kubilang pagar karatan yang menghalangi ambisiku.
Tak ada rasa sesal ketika aku mendapatkan bunga itu dalam keadaan kotor. Kelopaknya cacat. Bahkan sudah tak ada lagi putik kecil yang menghiasi tengah kelopaknya. Dia layu dan hampir patah. Kukira karena terkoyak dengan tangan-tangan penuh nafsu dari pemilik sebelumnya.
Awalnya aku sempat tergoda dengan sisa-sisa kotormu. Namun waktu mulai belajar merangkak. Dia mulai bisa berdiri. Perlahan tapi pasti dia melangkah. Semakin cepat hingga akhirnya waktu pun berlari dengan begitu cepat.
Aku mengecupmu. Mulai menikmatimu. Dan semakin berani saja tangan ini berjelajah. Kau hanya diam. Kau begitu menikmati. Kau sungguh tak merasa terkotori. Hingga aku tertunduk lemas. Merenung. Melihat masa lalu. Ketika aku berkata bahwa aku akan merawatnya. Merawat bunga itu.
“Kau akan terlihat indah jika kau mau menutupi keindahanmu itu, Bungaku!”
Cukup lembut aku berkata padanya. Senyum kecil tak sengaja muncul di bibir yang pernah menjanjikan kecantikan itu.
“Aku masih canggung. Aku sungguh tak pernah bisa terbiasa menutupi. Bukankah keindahan itu anugrah? Lalu apa gunanya keindahanku jika orang lain tak pernah bisa menikmatinya?”
Ternyata bunga yang satu ini memang agak keras kepala.
“Tutup tak selalu membuatmu semakin buruk kan? Aku ingin mencoba mulai menatamu. Agar kelak kau jadi seperti apa yang kuambisikan ketika itu.”
“baiklah jika itu maumu. Besok aku akan mulai memakainya! Kuharap aku bisa setidaknya untuk memakai ketika aku menemuimu.”
Waktu mulai beranjak dewasa. Dia semakin cepat berlari. Menghilangkan sekon, menghapus menit, melangkahi jam. Perlahan mulai menjamah hari. Hari pun seakan lenyap dan berubah menjadi minggu. Minggu mulai bermetamorfosis dengan nama bulan.
Dalam pengembaraan waktu, dia mulai terlihat segar. Bunga itu semakin bersih. Dia sanggup berdiri tegak dengan tangkainya yang semakin kuat. Meski tertutupi, aku tau jika kelopaknya menjadi jauh lebih indah. Tentu tanpa putik kecilnya yang telah hilang oleh tangan penuh nafsu milik pemiliknya yang lama.
Banyak yang mulai kuketahui darinya. Mungkin bisa dismpulkan bahwa semua itu yang membuatnya kotor.
Dia pernah berkata “aku ini hidup sendiri, bahkan harus menghidupi adik-adik kecilku. Orang yang menjadikanku ada disini telah lama berpisah dan merantau!”
Ternyata dia bunga yang mandiri sejak lama. Dia tak cukup peduli dengan siapa yang membuatnya subur di tanah negeri ini. Yang dia peduli adalah tetesan air berhumus yang selalu dikkirimkan ke alamatnya.
Dia juga pernah bercerita tentang siapa yang pernah memiliki dan tentu saja menyentuh-nyentuhnya. Hampir semua memperlakukan bungaku dengan sama. Dengan tangan-tangan kotornya. Sangat sial bagi bungaku karena tangan kotor itu masih juga dikotori dengan nafsu. Itu membuatnya menjadi terbiasa. Terbiasa disentuh dan dipermainkan.
Ketika bersamaku, dia mulai berbeda. Tumbuh semakin cantik dan yang paling aku suka adalah ketika duri-duri pelindung di tangkainya sudah mulai tumbuh tajam dan begitu sensitif.
Sangat disayangkan senja datang begitu cepat. Hanya dalam hitungan bulan, aku dengan ikhlas mengantarnya pulang. Sebelum malam yang semakin gelap dan kelam menghiasi dunia indahku ini. Juga dunia indah milik bunga indahku.
Tentu tak tanpa alasan aku melepasnya. Aku mengenyahkan dia karena bunga itu kuketahui tetap menjadi bunga yang kotor. Bahkan sangat kotor. Bagaimana tidak? Ketika dia menjadi peganganku dimanapun aku pergi, ketika dia telah menjadi begitu sempurna di hadapanku, dia juga menjadi bunga milik orang lain. Bahkan tak hanya satu. Banyak orang yang ternyata juga memilikinya. Duri-duri yang tertempel di batang hijaunya ternyata hanya fatamorgana dan hanya aku yang bisa melihatnya. Hingga aku melepasnya.
Tak ada sesal yang tertinggal. Justru aku sangat bersyukur ketika dia tetap menjadi bunga yang kotor dan sudah tak bisa diubah lagi. Setidaknya sebelum acara resmi. Juga sebelum aku meniduri di ruang pribadi, aku mengetahui bahwa dia adalah bunga yang kotor. Dia tetap kotor, dan mungkin akan selalu menjadi bunga kotor, dengan dunianya yang juga tak jauh dari kotor.


"Dian Ramadhan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar