Tak terasa sudah
satu semester aku belajar di sekolah. Itu berarti sudah saatnya aku terima rapor. Aku ingat
tentang janji mama kepadaku. Mama bilang, jika aku mendapat ranking sepuluh
besar di kelas, mama akan mengajakku liburan ke rumah kakek di desa.
Memang sudah lama
sekali aku tidak mengunjungi kakek. Terakhir kali aku berkunjung ke sana, aku
diajak kakek untuk melihat sawah. Aku begitu senang waktu itu. Soalnya, di kota
sama sekali tidak ada sawah yang tersisa. Yang ada di kota hanya pemandangan
gedung-gedung yang tidak menarik sama sekali.
“Kenapa ma? Kok mukanya
seperti mau memarahiku?” Aku bertanya pada mama yang baru saja pulang dari
sekolah untuk mengambil raporku.
“Besok pagi kita
berangkat ke rumah kakek, Jasmine!” Muka marah mama ternyata hanya pura-pura.
Ternyata aku mendapat rangking lima di kelas. Mama langsung menepati janjinya
yang pernah dia ucapkan kepadaku.
“Asiiiiikkk…!!!” Aku sangat senang ketika
mama mengatakan itu.
“Sekarang siapkan
pakaian dan apa saja yang ingin kamu bawa, sayang!”
“Oke mama yang
cantik!” Aku begitu bersemangat menyiapkan dan merapikan barang yang akan aku
bawa.
Pagi harinya, aku
mandi lebih awal. Aku bersiap dengan pakaianku yang paling bagus. Tak lupa aku
membawa i-pad hadiah dari mama ketika
aku ulang tahun. Aku suka sekali dengan i-pad
pemberian mama itu, soalnya banyak sekali mainan yang bisa kumainkan disaat aku
bosan dan tak ada teman.
“Sudah siap
berangkat, tuan putri?” Mama menjemputku di kamar.
“Sudah ma! Buruan
kita berangkat! Aku sudah tak sabar lagi!”
***
Sesampai di jalan
menuju desa, aku sudah disambut dengan pemandangan khas desa. Ada gunung,
dibawahnya terhampar sawah yang hijau dan luas. Suasana di desa juga berbeda
sekali dengan keadaan di rumahku.
“Selamat datang,
Jasmine!” Kakek dan nenek menyambut kami dengan senang.
“Hai, kakek dan
nenek. Apa kabar? Jasmine kangen sama kakek dan nenek!” aku langsung menyalami mereka.
Mereka juga langsung memeluk dan menciumiku.
Karena aku sampai
di rumah kakek pada sore hari, banyak anak sebaya denganku yang mulai berkumpul
di lapangan depan rumah kakek. Mereka memang sering bermain di situ. Aku
memperhatikan mereka. Mereka mulai membuat garis berbentuk persegi empat, lalu
mereka membentuk tim. Setiap tim terdiri dari empat anak.
“Mereka sedang
bermain apa, kek?” Aku bertanya kepada kakek karena aku belum pernah tahu
permainan apa yang sedang mereka mainkan.
“Itu namanya gobak
sodor, Jasmine!”
“Apa itu, kek?”
“Itu permainan
tradisional, sejak dulu sampai sekarang masih selalu dimainkan oleh anak-anak
di sini, Jasmine. Ibumu tak pernah menceritakannya ya?”
“Tidak pernah,
kek. Tapi aku lebih suka bermain dengan i-pad
ku. Lebih gampang, bisa dibawa kemana-mana, nggak bikin capek pula!” Aku
menceritakan permainan yang paling sering kumainkan kepada kakek.
“Kenapa bilang
begitu? Cobalah bergabung dengan mereka! Ayo kakek antar!” Kakek membujukku
agar aku bergabung
dengan anak-anak itu.
“Nggak mau, kek!
Aku lebih suka bermain dengan i-pad
ku! Lebih seru!” Aku menolak ajakan kakek, karena aku lebih suka dengan i-pad ku. Lagi pula, aku malas sekali
jika bermain kotor-kotoran macam itu.
Aku terus menolak
dan memilih duduk di teras rumah kakek. Tentu saja sambil bermain i-pad
kesayanganku. Namun tak lama kemudian, salah satu dari anak-anak itu memanggilku.
“Jasmine, ayo ikut
main! Kami kekurangan satu orang!”
“Tak mau. Kalian
lanjutkan saja!” aku tetap menolak, karena aku memang sedang asik dengan
mainanku yang tentu saja lebih canggih dari mainan mereka.
Sekian lama aku
dibujuk, akhirnya aku terpaksa ikut bermain meski tak tau caranya.
“Ya sudah aku mau
ikut. Tapi gimana caranya?”
“Gampang, sini aku
ajarin!” Tyas mengajariku dengan sabar, meski aku terlihat manja dan takut
kotor. Tak terlalu lama, aku sudah bisa memainkannya.
“Ternyata seru juga
ya, Tyas!”
“Memang seru! Ayo
jangan sampai kita Kalah!”
Aku semakin
bersemangat bermain gobak sodor dengan mereka. Bahkan aku sampai lupa waktu.
Yang lebih aneh, aku lupa dengan mainanku sebelumnya yang hanya bisa dimainkan
sendiri. Aku juga jadi terbiasa dengan kotor, karena sering terjatuh saat
bermain.
Meski akhirnya
timku yang kalah karena aku belum terbiasa, aku senang sekali bermain dengan
mereka. Aku pun berjanji akan membalas kekalahan besok sore di tempat yang
sama. Akhirnya mereka membubarkan diri ke rumah masing-masing.
Setelah mandi dan
beribadah, aku bercerita tentang keseruan yang ku alami kepada kakek, nenek,
dan juga ibu. Mereka terlihat senang karena aku mulai menyukai mainan
tradisional yang sudah hampir terlupakan. Meskipun siku dan kakiku ada yang
lecet karena terjatuh, aku tidak kapok dan justru ketagihan memainkannya.
“Ternyata barang
canggih tak terlalu asik, ma! Aku lebih suka bermain dengan kawan-kawan di
sini!” Itu kalimat terakhir yang ku ucapkan sebelum mama menidurkanku.
Dian Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar