Kamis, 12 September 2013

Canggih Belum Tentu Asik (Cerpen Anak)



Tak terasa sudah satu semester aku belajar di sekolah. Itu berarti sudah saatnya aku terima rapor. Aku ingat tentang janji mama kepadaku. Mama bilang, jika aku mendapat ranking sepuluh besar di kelas, mama akan mengajakku liburan ke rumah kakek di desa.
Memang sudah lama sekali aku tidak mengunjungi kakek. Terakhir kali aku berkunjung ke sana, aku diajak kakek untuk melihat sawah. Aku begitu senang waktu itu. Soalnya, di kota sama sekali tidak ada sawah yang tersisa. Yang ada di kota hanya pemandangan gedung-gedung yang tidak menarik sama sekali.
“Kenapa ma? Kok mukanya seperti mau memarahiku?” Aku bertanya pada mama yang baru saja pulang dari sekolah untuk mengambil raporku.
“Besok pagi kita berangkat ke rumah kakek, Jasmine!” Muka marah mama ternyata hanya pura-pura. Ternyata aku mendapat rangking lima di kelas. Mama langsung menepati janjinya yang pernah dia ucapkan kepadaku.
“Asiiiiikkk…!!!” Aku sangat senang ketika mama mengatakan itu.
“Sekarang siapkan pakaian dan apa saja yang ingin kamu bawa, sayang!”
“Oke mama yang cantik!” Aku begitu bersemangat menyiapkan dan merapikan barang yang akan aku bawa.
Pagi harinya, aku mandi lebih awal. Aku bersiap dengan pakaianku yang paling bagus. Tak lupa aku membawa i-pad hadiah dari mama ketika aku ulang tahun. Aku suka sekali dengan i-pad pemberian mama itu, soalnya banyak sekali mainan yang bisa kumainkan disaat aku bosan dan tak ada teman.
“Sudah siap berangkat, tuan putri?” Mama menjemputku di kamar.
“Sudah ma! Buruan kita berangkat! Aku sudah tak sabar lagi!”
***
Sesampai di jalan menuju desa, aku sudah disambut dengan pemandangan khas desa. Ada gunung, dibawahnya terhampar sawah yang hijau dan luas. Suasana di desa juga berbeda sekali dengan keadaan di rumahku.
“Selamat datang, Jasmine!” Kakek dan nenek menyambut kami dengan senang.
“Hai, kakek dan nenek. Apa kabar? Jasmine kangen sama kakek dan nenek!” aku langsung menyalami mereka. Mereka juga langsung memeluk dan menciumiku.
Karena aku sampai di rumah kakek pada sore hari, banyak anak sebaya denganku yang mulai berkumpul di lapangan depan rumah kakek. Mereka memang sering bermain di situ. Aku memperhatikan mereka. Mereka mulai membuat garis berbentuk persegi empat, lalu mereka membentuk tim. Setiap tim terdiri dari empat anak.
“Mereka sedang bermain apa, kek?” Aku bertanya kepada kakek karena aku belum pernah tahu permainan apa yang sedang mereka mainkan.
“Itu namanya gobak sodor, Jasmine!”
“Apa itu, kek?”
“Itu permainan tradisional, sejak dulu sampai sekarang masih selalu dimainkan oleh anak-anak di sini, Jasmine. Ibumu tak pernah menceritakannya ya?”
“Tidak pernah, kek. Tapi aku lebih suka bermain dengan i-pad ku. Lebih gampang, bisa dibawa kemana-mana, nggak bikin capek pula!” Aku menceritakan permainan yang paling sering kumainkan kepada kakek.
“Kenapa bilang begitu? Cobalah bergabung dengan mereka! Ayo kakek antar!” Kakek membujukku agar aku bergabung dengan anak-anak itu.
“Nggak mau, kek! Aku lebih suka bermain dengan i-pad ku! Lebih seru!” Aku menolak ajakan kakek, karena aku lebih suka dengan i-pad ku. Lagi pula, aku malas sekali jika bermain kotor-kotoran macam itu.
Aku terus menolak dan memilih duduk di teras rumah kakek. Tentu saja sambil bermain i-pad kesayanganku. Namun tak lama kemudian, salah satu dari anak-anak itu memanggilku.
“Jasmine, ayo ikut main! Kami kekurangan satu orang!”
“Tak mau. Kalian lanjutkan saja!” aku tetap menolak, karena aku memang sedang asik dengan mainanku yang tentu saja lebih canggih dari mainan mereka.
Sekian lama aku dibujuk, akhirnya aku terpaksa ikut bermain meski tak tau caranya.
“Ya sudah aku mau ikut. Tapi gimana caranya?”
“Gampang, sini aku ajarin!” Tyas mengajariku dengan sabar, meski aku terlihat manja dan takut kotor. Tak terlalu lama, aku sudah bisa memainkannya.
“Ternyata seru juga ya, Tyas!”
“Memang seru! Ayo jangan sampai kita Kalah!”
Aku semakin bersemangat bermain gobak sodor dengan mereka. Bahkan aku sampai lupa waktu. Yang lebih aneh, aku lupa dengan mainanku sebelumnya yang hanya bisa dimainkan sendiri. Aku juga jadi terbiasa dengan kotor, karena sering terjatuh saat bermain.
Meski akhirnya timku yang kalah karena aku belum terbiasa, aku senang sekali bermain dengan mereka. Aku pun berjanji akan membalas kekalahan besok sore di tempat yang sama. Akhirnya mereka membubarkan diri ke rumah masing-masing.
Setelah mandi dan beribadah, aku bercerita tentang keseruan yang ku alami kepada kakek, nenek, dan juga ibu. Mereka terlihat senang karena aku mulai menyukai mainan tradisional yang sudah hampir terlupakan. Meskipun siku dan kakiku ada yang lecet karena terjatuh, aku tidak kapok dan justru ketagihan memainkannya.
“Ternyata barang canggih tak terlalu asik, ma! Aku lebih suka bermain dengan kawan-kawan di sini!” Itu kalimat terakhir yang ku ucapkan sebelum mama menidurkanku.

Dian Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar