Kamis, 12 September 2013

Bulan Sabit Malam Ini




Bulan sabit malam ini
Itu senyummu
Tapi itu juga matamu yang nyaris terpejam
Di suasana malam yang menggigit
Berteman ketiadaan bintang
Kau terlihat samar-samar
Terkadang hilang
Lalu muncul
Terus berulang mungkin
Hingga pagi tersenyum padamu

Dian Ramadhan

Surat Pertama dan Terakhir



Senja di sini sangat melelahkan. Matahari enggan membagi kecantikannya. Suara burung pun hanya sesekali terdengar. Pantai kotor, penuh sampah. Sampah dalam arti sebenarnya, maupun sampah dalam arti tidak sebenarnya.
            Di sana dengan muka muram, seorang gadis duduk sendirian. Di atas batu tepi pantai yang nyaris hancur dikikis lembutnya ombak laut selatan. Dialah Bunga, gadis SMA berparas cantik dengan senyum menawan dari bibir indah nan sintal itu. Namun, senyum itu tak nampak kala senja yang melelahkan itu tiba. Entahlah apa yang sedang ia pikirkan, hingga ia lupa akan keindahan dirinya.
            Tak lama setelah bunga duduk di batu karang itu, terlihat siluet samar berbentuk manusia yang mendekat ke arahnya. Nampaknya laki-laki. Tapi entahlah.
            Benar saja, siluet itu adalah bayang-bayang Hasta. Lelaki muda bertubuh kekar yang selama ini menjadi kekasih Bunga. Dia mendekat dan duduk di samping Bunga.
“Apa yang terjadi, sayang?” Hasta memecah keheningan senja itu.
“Hanya sedikit masalah saja bang.” Sambil tersenyum manis ke arah kekasihnya.
“Masalah apa? Ceritakanlah padaku!”
“Tapi aku takut mengecewakanmu bang.”
“Bicaralah sayang. Sungguh aku takkan merasa kau kecewakan!”
            Seketika suasana hening. Hanya suara para nelayan yang sedang mempersiapkan kapalnya yang menjadi hiburan. Semakin gelap pantai itu. Hasta semakin cemas menunggu lantunan kata yang akan diucapkan kekasihnya. Begitu penasaran, karena selama 2 tahun berhubungan mereka tak pernah ada masalah yang rumit.
“Tapi aku sungguh takut ini akan mengecewakanmu bang.”
“Jangan seperti anak kecil sayang. Aku justru lebih kecewa jika kau tak mau mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Nanti aja bang aku ceritakan. Lihatlah bang. Dihadapan kita terhampar pasir putih berhias laut biru nan indah. Aku bermimpi aku akan menjadi setitik pasir yang bergabung menjadi satu di pantai ini.”
“PADA NGAPAIN INI?? UDAH MALEM MASIH DI SINI, PAKE SERAGAM SMA PULA..!!!”
            Suara garang tiba-tiba merusak suasana. Suara yang tak mereka kenali. Mereka juga tak tau apa salah mereka hingga mereka dibentak begitu kerasnya.
            Ternyata di belakang mereka telah berdiri aparat keamanan bertubuh tegap berhias muka garang yang sangat tak mengenakkan untuk sekedar dipandang. Hasta  akhirnya menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan. Dengan perdebatan yang sangat sengit, petugas keamanan pun mengerti dan membebaskan mereka.
            Mereka akhirnya tau mengapa sering dilakukan patroli di tempat itu. Ya, di sekitar pantai itu ternyata sering dijadikan tempat mangkal para lonthe yang berburu mangsa sambil menawarkan berbagai macam kelamin yang hampir busuk, juga buah dada mereka yang sudah tak padat dan kencang lagi. Mungkin karena terlalu sering dijelajahi oleh para lelaki kaya raya yang sedang pengen jajan. Tak jarang pula tempat itu dijadikan ajang jual beli gadis-gadis perawan yang masih mengunyah bangku sekolah. Bahkan, warung-warung sekitar pantai yang terlihat biasa di siang hari, telah beralih fungsi sebagai tempat menikmati jajanan para hidung belang disana. Hal yang belum diketahui oleh pasangan anak muda itu, Karena mereka tak pernah berada di pantai hingga selarut itu.
            Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang. Seperti biasa, Hasta mengantar Bunga pulang sampai depan gerbang rumahnya.
            Selama ini Hasta memang belum berani masuk ke rumah Bunga. Selain karena takut dengan ayah Bunga yang katanya sangat cuek, dia juga takut akan keselamatannya karena kata orang-orang sekitar, ayah Bunga jauh lebih galak daripada anak singa yang paling galak. Karena itu, dua tahun mereka terpaksa backstreet.
***
            Cuaca sedang tidak bersahabat dengan mereka. Di tengah perjalanan pulang, hujan memukuli tubuh mereka tanpa ampun. Baju mereka basah kuyup hingga memperkihatkan lekukan-lekukan tubuh yang ada dibalik baju mereka. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan Bunga selama perjalanan, meski Hasta masih merengek dan meminta penjelasan tentang apa yang terjadi kepada dirinya. Hanya dekapan hangat mereka yang mengalahkan dinginnya persetubuhan angin dengan hujan yang mengiringi mereka pulang.
            Akhirnya mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Bunga. Dengan terburu-buru Bunga turun dari motor tua milik Hasta.
“Terima kasih, bang..!”
            Hanya itu yang Bunga ucapkan kepada Hasta.
            Belum sempat Hasta berkata sesuatu, mulut Hasta sudah terlebih dahulu disumbat dengan bibir sintal Bunga. Kuluman dan ciuman sangat hangat yang tak pernah Hasta rasakan sebelumnya membuat dia sangat terkejut. Sebelumnya mereka memang tak pernah merasakan berciuman antara mulut dengan mulut.
            Kecupan mesra itu menjadi penutup kebersamaan mereka hari ini.
***
            Hasta pun pulang. Di jalan, dia masih mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi dengan Bunga. Dia berfikir hingga tak menyadari rumahnya telah terlewat agak jauh. Terpaksa dia memutar arah motornya dengan sedikit rasa malu dan dengan pakaian yang masih basah.
            Dia langsung masuk dalam kamarnya tanpa permisi. Hal itu memang sudah biasa ia lakukan setelah pulang.
            Hasta bergegas menuju kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Di kamar mandi pun dia masih terus berfikir tentang Bunga. Tanpa terasa dia sudah satu jam di dalam kamar mandi. Dia menghiraukan panggilan ibunya yang menyuruhnya makan malam.
            Tas kerja yang ikut basah terkena amukan hujan mulai dia bereskan. Tanpa dia ketahui, dalam tas itu teselip sepucuk surat yang bertuliskan namanya dan nama Bunga. Entah sejak kapan surat itu ada di dalam tasnya. Ia juga tak menyadari Bunga telah menyelipkannya. Hal yang sedikit aneh juga menurut Hasta, mengingat Bunga tak pernah mengirim surat sebelumnya. Mereka lebih suka main SMS daripada kirim-kiriman surat macam itu. Hal yang aneh terjadi lagi dengan Bunga. Malam itu handphone milik Bunga tidak aktif seperti biasanya.
            Hasta mengalihkan perhatiannya pada surat yang dia pengang. Tentu dia sangat penasaran dengan isinya. Dengan penuh nafsu dia membuka surat itu dan didapatinya beberapa kalimat.

“Buat Abang Hasta
            Abangku sayang, aku ingin mencoba menulis surat buat abang. Untuk kenangan kita kelak bang. Untuk kita pamerkan pada anak-anak kita nantinya.
            Tak ada kata lain selain terimakasih yang bisa ku ucapkan atas apa yang abang beri kepadaku selama ini. Aku sungguh tak bisa dan tak mau kehilanganmu bang. Mungkin jika aku meneteskan air mataku di laut, dan aku bisa menemukannya lagi, baru aku mau kehilangan kamu.
Apa abang masih ingat? Ingatkah bang, ketika kita menuliskan beberapa kata di pohon tua di taman kota? Kita menulis janji sehidup semati, dan kita juga telah janji untuk selalu bersama.
Maaf bang, tak ada kata yang bisa kuungkapkan lagi. Sepertinya otakku telah penuh dengan kenangan kita hingga aku tak bisa memikirkan apapun selain tentang kita.
“Selamanya aku milikmu”
Yang menyayangimu
        Bunga”

Setelah membaca surat itu, Hasta sangat merasakan suasana kedamaian. Dia tertidur sangat lelap. Mungkin dia sedang bertemu dengan bidadarinya itu. Terlihat dari mimik parasnya yang sesekali tersenyum tanpa sadar.
***
Azan subuh berkumandang. Membangunkan tidur Hasta yang terlalu nyenyak.
Begitu terkejutnya dia karena setelah Azan selesai, ada berita lelayu.
“Innalilahi wa innailaihi roji’un
Telah meninggal dunia dengan tenang, Bunga Setya Ramadhani binti Tukiman…”
            Itu nama kekasihnya. Kekasih yang telah berjanji akan menceritakan sesuatu yang membuatnya begitu berbeda di senja yang melelahkan itu. Betapa hancur perasaan Hasta mendengar semuanya. Tanpa disadari, air asin itu mulai memenuhi kelopaknya. Perlahan terjun menjadikan pipinya sebagai sungai baru. Benar, dia menangis. Meski terilhat macho, Hasta tetaplah manusia biasa yang mendadak tersenyum dengan adanya kebahagiaan. Menangis pun menjadi hal yang wajar setelah dia mendengar berita yang menyayat hatinya yang belum sembuh dari luka. Apalagi sayatan baru itu tepat berada di luka lamanya. Dia sangat terpukul mendengar semua itu. Dia bahkan belum sempat membahagiakan Bunga. Dia pun memberanikan diri pergi kerumah Bunga dengan diiringi tangisan kecil namun sangat menyakitkan.
Hasta tersadar, ternyata segalanya yang ia lakukan dengannya kemarin adalah yang terakhir. Bunga ingin member isyarat padanya atau mungkin ingin meninggalkan kenangan. Dia tak perduli dengan itu. Bahkan dia lupa dengan jawaban atas pertanyaan senja kemarin. Yang dia tau, surat kecil itu adalah surat pertama dan terakhir Bunga untuknya.

Dian Ramadhan

BORGOL DAN SI MISKIN



Si miskin pun bertanya padanya
kenapa?
kenapa harus aku
wahai sang borgol keadilan?
hanya sedikit saja
kulakukan yang tak pantas
tapi engkau terus membayangi.

Wahai borgol penuh kesucian
kenapa pula?
kenapa kau rela mengotori diri
dengan tangan-tangan ini
tangan kotor orang kere
yang tak bisa berbuat apa-apa.

Apa yang kau lakukan selanjutnya
wahai lambang keadilan
kepada orang-orang itu
orang yang menyengsarakan kaumku?
memperkosa dan merampas hak kami
bahkan, kau tak mau bersentuhan
dengan mereka wahai borgol yang suci.

Apakah memang itu?
memang itukah tujuan mereka
menciptakanmu si borgol besi yang dingin

Hanya untuk si miskin
yang penuh masalah
yang kurang pendidikan
dan yang hak-haknya telah diambil.

Dian Ramadhan

Canggih Belum Tentu Asik (Cerpen Anak)



Tak terasa sudah satu semester aku belajar di sekolah. Itu berarti sudah saatnya aku terima rapor. Aku ingat tentang janji mama kepadaku. Mama bilang, jika aku mendapat ranking sepuluh besar di kelas, mama akan mengajakku liburan ke rumah kakek di desa.
Memang sudah lama sekali aku tidak mengunjungi kakek. Terakhir kali aku berkunjung ke sana, aku diajak kakek untuk melihat sawah. Aku begitu senang waktu itu. Soalnya, di kota sama sekali tidak ada sawah yang tersisa. Yang ada di kota hanya pemandangan gedung-gedung yang tidak menarik sama sekali.
“Kenapa ma? Kok mukanya seperti mau memarahiku?” Aku bertanya pada mama yang baru saja pulang dari sekolah untuk mengambil raporku.
“Besok pagi kita berangkat ke rumah kakek, Jasmine!” Muka marah mama ternyata hanya pura-pura. Ternyata aku mendapat rangking lima di kelas. Mama langsung menepati janjinya yang pernah dia ucapkan kepadaku.
“Asiiiiikkk…!!!” Aku sangat senang ketika mama mengatakan itu.
“Sekarang siapkan pakaian dan apa saja yang ingin kamu bawa, sayang!”
“Oke mama yang cantik!” Aku begitu bersemangat menyiapkan dan merapikan barang yang akan aku bawa.
Pagi harinya, aku mandi lebih awal. Aku bersiap dengan pakaianku yang paling bagus. Tak lupa aku membawa i-pad hadiah dari mama ketika aku ulang tahun. Aku suka sekali dengan i-pad pemberian mama itu, soalnya banyak sekali mainan yang bisa kumainkan disaat aku bosan dan tak ada teman.
“Sudah siap berangkat, tuan putri?” Mama menjemputku di kamar.
“Sudah ma! Buruan kita berangkat! Aku sudah tak sabar lagi!”
***
Sesampai di jalan menuju desa, aku sudah disambut dengan pemandangan khas desa. Ada gunung, dibawahnya terhampar sawah yang hijau dan luas. Suasana di desa juga berbeda sekali dengan keadaan di rumahku.
“Selamat datang, Jasmine!” Kakek dan nenek menyambut kami dengan senang.
“Hai, kakek dan nenek. Apa kabar? Jasmine kangen sama kakek dan nenek!” aku langsung menyalami mereka. Mereka juga langsung memeluk dan menciumiku.
Karena aku sampai di rumah kakek pada sore hari, banyak anak sebaya denganku yang mulai berkumpul di lapangan depan rumah kakek. Mereka memang sering bermain di situ. Aku memperhatikan mereka. Mereka mulai membuat garis berbentuk persegi empat, lalu mereka membentuk tim. Setiap tim terdiri dari empat anak.
“Mereka sedang bermain apa, kek?” Aku bertanya kepada kakek karena aku belum pernah tahu permainan apa yang sedang mereka mainkan.
“Itu namanya gobak sodor, Jasmine!”
“Apa itu, kek?”
“Itu permainan tradisional, sejak dulu sampai sekarang masih selalu dimainkan oleh anak-anak di sini, Jasmine. Ibumu tak pernah menceritakannya ya?”
“Tidak pernah, kek. Tapi aku lebih suka bermain dengan i-pad ku. Lebih gampang, bisa dibawa kemana-mana, nggak bikin capek pula!” Aku menceritakan permainan yang paling sering kumainkan kepada kakek.
“Kenapa bilang begitu? Cobalah bergabung dengan mereka! Ayo kakek antar!” Kakek membujukku agar aku bergabung dengan anak-anak itu.
“Nggak mau, kek! Aku lebih suka bermain dengan i-pad ku! Lebih seru!” Aku menolak ajakan kakek, karena aku lebih suka dengan i-pad ku. Lagi pula, aku malas sekali jika bermain kotor-kotoran macam itu.
Aku terus menolak dan memilih duduk di teras rumah kakek. Tentu saja sambil bermain i-pad kesayanganku. Namun tak lama kemudian, salah satu dari anak-anak itu memanggilku.
“Jasmine, ayo ikut main! Kami kekurangan satu orang!”
“Tak mau. Kalian lanjutkan saja!” aku tetap menolak, karena aku memang sedang asik dengan mainanku yang tentu saja lebih canggih dari mainan mereka.
Sekian lama aku dibujuk, akhirnya aku terpaksa ikut bermain meski tak tau caranya.
“Ya sudah aku mau ikut. Tapi gimana caranya?”
“Gampang, sini aku ajarin!” Tyas mengajariku dengan sabar, meski aku terlihat manja dan takut kotor. Tak terlalu lama, aku sudah bisa memainkannya.
“Ternyata seru juga ya, Tyas!”
“Memang seru! Ayo jangan sampai kita Kalah!”
Aku semakin bersemangat bermain gobak sodor dengan mereka. Bahkan aku sampai lupa waktu. Yang lebih aneh, aku lupa dengan mainanku sebelumnya yang hanya bisa dimainkan sendiri. Aku juga jadi terbiasa dengan kotor, karena sering terjatuh saat bermain.
Meski akhirnya timku yang kalah karena aku belum terbiasa, aku senang sekali bermain dengan mereka. Aku pun berjanji akan membalas kekalahan besok sore di tempat yang sama. Akhirnya mereka membubarkan diri ke rumah masing-masing.
Setelah mandi dan beribadah, aku bercerita tentang keseruan yang ku alami kepada kakek, nenek, dan juga ibu. Mereka terlihat senang karena aku mulai menyukai mainan tradisional yang sudah hampir terlupakan. Meskipun siku dan kakiku ada yang lecet karena terjatuh, aku tidak kapok dan justru ketagihan memainkannya.
“Ternyata barang canggih tak terlalu asik, ma! Aku lebih suka bermain dengan kawan-kawan di sini!” Itu kalimat terakhir yang ku ucapkan sebelum mama menidurkanku.

Dian Ramadhan